Pada Sebuah Photo

Pada sebuah photo dua pemuda itu melautkan perhatian. Sebelumnya, dalam berita-berita soal kebangkrutan negeri dan kondisi tak menentu- mereka selalu bernyanyi. Hingga sepanjang malam suara mereka lantang-sumbang melantunkan lagu-lagu itu. Kasidah-kasidah dari kata-kata mutiara, disenandungkan dengan nada-nada pop.

Tapi hari ini lain dari biasanya. Mereka tidak menyanyi. Mereka sedang memperhatikan selembar photo 5R. Photo yang jatuh dari langit, saat angin kencang datang menampar wajah mereka. Foto yang tiba-tiba diluncurkan angkasa, menghapiri mereka,meliuk-liuk seperti menari.

Dua pemuda itu terperangah, salah satu pemuda mulutnya menganga. Takjub.

“Lihat senyumnya, parasnya, untai rambutnya. Hmmm..Juga coba perhatikan sedikit proporsi bidang dada, leher, bentuk mata, ketebalan pipi, bibir, alis mata dan bentuk raut wajahnya,” Ujar salah satu pemuda.

“Ya ya, tapi nanti dulu…,aku lagi konsentrasi dengan yang intrinsik-intrinsik. Aku lagi mencoba memahami dengan memperhatikan sorot matanya, aura, cakra, imej-imej…yang gitu gitu pokoknya…,” timpal yang seorang lagi dengan malas-malas.

“Oh, mulai dari yang intrinsik-intrinsik dulu ya?” kata pemuda pertama.

“Ya iyaaa lah…substansi dulu baru lahiriah. Hmmm…menurutmu, kira-kira cewek ini pegimana?,” Kata pemuda kedua. Bukannya menyampaikan pendapat ia justru melempar tanya kepada pemuda pertama demi untuk menyambar rokok di jemari rekannya itu. Jaman lagi sulit karena itu rokok harus join, biar hemat.

Ringan pemuda pertama merelakan giliran hisap rokok sembari menimpali. Saat mulai berkata mulutnya masih mengeluarkan asap rokok, “Jujur saja, melihat roman nya, aku jadi membayangkan adegan iklan kondom. Model dalam iklan yang ber-akting bak kucing nakal atau jenis kucing yang suka mencakar,” ia tersenyum-senyum sendiri, “Dan jika mencomot dari mitologi dewi-dewi yunani, menurutku dia tipe  Artemis, Dewi berburu. Yang setimpal liarnya dengan alam. Susah diatur tapi bikin ketagihan, membuat lelaki rela berpusing-pusing asal mendapatkan sesuatu darinya. Dewi yang disucikan oleh para pemburu, yang  katanya biang daripada yang mana ekspresi semangat muda-mudi. Widyadari  daripada yang mana mengatur tempat-tempat bumi nan ganas dan liar dengan tenang, sambil ngopi atau nyukur bulu kaki di bukit olimpus,” pungkasnya.

“Ganas dan liar. Ya, cukup beralasan, aku sendiri merasa urai rambutnya mengingatkan aku pada tanjakan fly over saat ngebut di malam hari, bikin mesin motorku meraung dalam nuansa menanjak, menikung, gelap dan hitam…,” sambut pemuda kedua, usai menyimak uraian rekannya.

“Ya, kira-kira gitulah,….trus kalau menurutmu, secara rinci gemana?,” sambut Pemuda Pertama balik bertanya.

“Eemmmm akupun turut mencomot mitologi Yunani kalo gitu. Dalam penilaianku, dia bak Aphrodite, dewi asmara dan kecantikan. Perempuan yang bangkit dari gelombang samudera. Diva yang sempurna dan luar biasa menawan, maknyos!. Tawanya memikat sementara  kecantikannya manstap dan ciamik,” kata pemuda kedua sambil mengacungkan Jempol kencang-kencang seperti kram.

“Kamu bilang kita amati yang intrinsik-intrinsik dulu, tapi kamu malah menilai hal-hal yang fisik saja,” kata pemuda pertama, sedikit protes.

picasso-dancer.jpg“Masih ada lanjutannya jek!, sabar. Hmmm…Seperti  Aphrodite, dia  bisa merayu siapapun yang ia mau. Aphrodite yang meraup semuanya dalam sikap mendua dan mistikus kebimbangan, perfeksionistis, cinta segitiga, atau emang semacam pribadi dengan kondisi-kondisi serba nggak niat. Aphrodite yang menikah dengan Hephaestus, dewa Gunung Olimpia yang paling bersahaja, sekaligus bajik dan bijak. Sementara ia terus berselingkuh dengan Ares, dewa perang yang brutal nan macho bak Tarzan X.  Ini tipe Dewi kahyangan yang sensual, dualisme-misterius, sekaligus perayu yang berbahaya…dan secara fisik cantik sih?kulitnya mulus juga…yah,singkatnya kalo soal penampilan oke lah…” lanjut pemuda kedua, mulutnya monyong.

“ Ya ya…dan aku yakin dia ini suka jaim, tidak akan memberi tahu orang banyak tentang gairah dan keseksianya. Padahal ia sebenarnya memiliki karakter sex yang brutal, ogah bertele-tele, fokus pada aksi tanpa ba bi bu. Apa yang dilihat adalah apa yang didapat. Tanpa kesabaran untuk bermain mata atau mau repot-repot  meladeni seseorang yang malu-malu kucing, sok manis, pura-pura sopan atau jaim dengan target memikat hati. Ini tipe perempuan garis depan. Baginya yang penting tindakan, bukan isyarat-isyarat tak jelas. Perburuan dan tantangan adalah yang menggairahkannya….,”ujar Pemuda Pertama, uraian nya terputus dan mandeg, nampaknya dia bingung mau ngomong apa lagi.

Lantas perbincangan terhenti sesaat. Kedua pemuda itu seperti memikirkan sesuatu. Seperti mencermati sesuatu yang rumit, menjebak, sedikit menyebalkan dan manipulatif.

Sampai Pemuda kedua memecah pause itu dengan angkat bicara. “Diluar semua itu, aku jadi membayangkan sosok Prajnaparamita. Perempuan dengan kecantikan yang klasik, anggun, namun intelektual. Tanpa elemen kecantikan yang menonjol, namun dari pancaran mata, gerak dan lekuk tubuhnya yang luwes, ia memberikan ketenangan bagi siapa saja yang dekat dengannya. Perempuan yang kerap digambarkan gak bermutu, ndeso, rapuh dan ringkih, padahal dia adalah Wonder Woman sejati,” ungkapnya.

“Ya ya, aku juga mikirin perempuan tipe Dewi Parwati, dengan sifat kecantikannya yang melindungi, memberikan ketenangan, dan rasa aman.  Personifikasi dari lagu “Kasih Ibu Kepada Beta”. Wanita yang lembut, dan tidak begitu cantik, namun sabar, dengan pandangan mata nan teduh. Aku membayangkannya sebagai perempuan dengan bentuk tubuh yang agak tambun, buah dada yang besar, pinggul dan pinggang yang lebar. Proporsi tubuh yang menunjukkan adanya kekuatan ha ha ha,”Timpal pemuda pertama.

“Ya ya, atau yang satu lagi misalnya perempuan agresif seperti Durga Mahisasuramardhini, yang tidak hanya mau menerima namun juga mampu untuk mengambil sikap dan tindakan yang tegas. Dengan bentuk lekuk- lekuk badan yang sempurna bak gitar Spanyol. Luwes namun sporty, bersikap dinamis tanpa menunjukkan sikap kejam dan semena-mena. Ia yang berwajah cantik, yang kematangan jiwananya nampak dalam kecerdasan dan pandangannya, “ Sahut Pemuda Kedua.

Pemuda pertama lantas angkat bicara, “hmmm, hanya saja aku merasa percakapan kita tidak membumi, atau setidaknya belum…,” katanya.

“Kenapa..?,” kata pemuda kedua.

“Ini kan hanya berawal dari sebuah photo seorang perempuan, dan berlanjut dengan angan-angan, yang juga soal perempuan?,” jawab pemuda pertama.

Pemuda kedua manggut-mangut, “Betul juga, dengan segala keterbatasan kita, menyimpulkan dengan benar untuk meraih sesuatu dengan nyata adalah hal yang gak gampang. Sudahlah,nanti obrolan jadi gak asik,”katanya.

“Iya, iya,oke oke, Jangan terlalu melebar kesana-kemari,ayo kembali ke soal perempuan saja. Pokoknya awewe…A…we…we,”Sahut pemuda pertama.

“Lantas bagaimana, tema perempuan apalagi yang mau dibahas. Perempuan dan Mitos Kecantikan, Perempuan dalam perspektif Kapilatistik, Perempuan dan Fashion, Perempuan dalam Lirik lagu Pop, Khasiat Doa Ibu, Wanita Karir, Emansipasi….apalagi?,” ujar pemuda kedua.

“Gak usah jauh-jauh, ini aja, kita batasi saja soal perempuan dalam sebuah photo ini, tapi tanpa angan-angan yang berlebihan,”jawab pemuda pertama.

“Hmmm, kalau itu, karena kita laki-laki dan ini cuma photo, menurutku, bagaimanapun kita hanya akan membicarakan perempuan dalam imajinasi-imajinasi dan harapan-harapan laki-laki. Perempuan sebagai komponen perasaaan dan subjektivitas laki-laki,”kata pemuda kedua.

“Tapi bukankah itu tema yang cukup menarik juga, laki-laki dan harapan-harapan pada perempuan yang menjadikannya egois, sok macho, sok Robin Hood?,atau harapan-harapan laki-laki yang justru menjadikan perempuan men-subordinasi laki-laki,”timpal pemuda pertama.

“Wah…ck ck ck…tanpa sadar kita sedang membicarakan dua mahluk yang berbeda, yang sepanjang jaman menyuguhkan begitu banyak hikayat dan cerita, From venus and Mars…. Supernova…extravaganza…fabulous…separatos jos!,”kata pemuda kedua.

“Ya sesuatu yang asik masyuk juga. Kupikir perbicangan semacam ini akan selalu meletihkan sekaligus dramatis dan suatu hari nanti akan kita anggap sebagai sesuatu yang lebay,” sahut pemuda pertama.

Pemuda kedua hanya mengangkat bahu, “Baiklah, lebay pun tak apa. Sekali-sekali,”katanya.

Mereka berdua lantas membicara kan soal perempuan dengan lebih khusyuk. Gitar kopong yang biasanya mereka mainkan, diletakkan begitu saja. Mereka terus ngobrol, mencomot segala istilah dan kutipan-kutipan yang tampaknya adiluhung. Mereka mencoba keras untuk  membicarakan segala soal perempuan dengan benar.

Sampai beberapa bulan kemudian, mereka menerima photo yang tak ada beda nya. Photo-photo itu tidak berubah….selalu begitu. Dan perbincangan seperti itu pun terus berulang.

 

 

 

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑